RSS

PENDEKATAN MAJAZ DALAM STUDI AL-QUR’AN

31 Okt

PENDEKATAN MAJAZ DALAM STUDI AL-QUR’AN

Oleh Bisri Tujang

a.      Pengantar

            Berbicara tentang majaz dalam studi al-Qur’an pasti akan bersinggungan dengan ilmu ushul fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah dasar untuk menjadi seorang mujtahid, criteria menjadi seorang mujtahid dan bagaimana seorang mujtahid mampu berijtihad dari dalil-dalil yang sedang diklarifikasi. Nah, majaz adalah salah satu bagian dari ilmu ushul fiqh, Kalau diteliti, ilmu ini sebenarnya adalah “pelengkap pintu ber-ijtihad”, karena tiang besar dari ijtihad itu sendiri adalah menguasai nukilan hadits atau ayat Qur’an, di antara manfaat dari nukilan adalah mengenal “majaz”. Maka apabila seseorang telah mempelajari ilmu ini dan menguasainya ia akan dengan mudah meyimpulkan suatu hukum dari sebuah teks hadits atau ayat qur’an tanpa melihat penjelasan para ulama sebelumnya.

            Korelasinya dengan studi Qur’an bahwa ilmu syariat dalam agama Islam salah satu landasan hukumnya adalah al-Qur’an, sementara untuk menginterpretasikan ayat al-Qur’an terkadang harus berbicara tentang masalah yang diistilahkan dengan”majaz”. Seorang mufassir mujtahid baru akan menginterpretasikan sebuah ayat Qur’an yang menggunakan pendekatan “majaz” setelah memahami konsep majaz dalam ilmu ushul fiqh atauilmusasteraarab.

            Keliru dalam memahami konsep majaz akan berakibat fatal pada living qur’an di dunia Islam, sebab ilmu ini berkaitan erat dengan ilmu aqidah, fikih, hukum, bahasa dan Qur’an. Berdasarkan hal demikian mempelajari dan mengkaji ilmu ini secara actual sangat urgen oleh setiap muslim, khususnya bagi seorang dai dan para mubaligh.

            Memang kajian ini dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi polemic dikalangan para ulama dan para penuntut ilmu, mereka terus membahasnya seakan lautan yang tak bertepi. Oleh karena itu apakah “majaz’ adalah termasuk pintu pendekatan untuk memhami teks dalam studi al-Qur’an? Dan apakah majaz itu sendiri digunakan secara mulus dalam memahami teks syari’at tanpa ada perselisihan dikalangan ulama? Maka untuk mengetahuinya kita akan membahasnya.

            Maka pada kesempatan ini saya akan berusaha menyajikannya dengan singkat dan padat, semoga bisa memberi manfaat-walaupun saya tidak menganggap sajian ini lebih baik dari peneliti dan pengkaji sebelumnya-.

            Untuk mengawali pembahasan ini- sebelum kita melangkah lebih jauh- terlebih dahulu saya akan menjelaskan pengertian majaz secara etimologi dan terminology menurut perspektif para ulama.

b.      Pembahasan

1.                  Pengertian majaz[1]

a.                   Majaz secara etimologi

Majaz(metafora) secara singkat diambil dari kata jaza-yajuzu-jauzan dan jawazan artinya melewati, melebihi atau membolehkan[2].

b.                  Majaz secara terminologi

Secara terminologi majaz memiliki multi definisi dikalangan para ulama, namun secara keseluruhan masing-masing definisi tersebut satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Ada baiknya jika sebagian definisi tersebut kita sebutkan pada kajian ini. definisi tersebut adalah:

Pertama          :  majaz adalah “lawan dari makna denotatif(hakikat)”

Kedua              : majaz adalah “lafaz yang digunakan bukan pada tempatnya(maknanya)”

Ketiga              : majaz adalah lafaz yang digunakan bukan pada maknanya yang pertama”

Keempat          : majaz adalah lafaz yang digunakan bukan pada maknanya yang pertama berdasarkan aspek yang benar”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pengarang buku raudhah alnazhir.

Kelima             : majaz adalah “lafaz yang digunakan bukan pada maknanya karena sebuah hubungan dan indikator(qorinah)”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Suyuthi pengarang buku jam’u al-jawami’.

Keenam           : majaz adalah “ungkapan yang digunakan untuk maksud yang kedua karena sebuah hubungan”[3].

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas dapatlah saya simpulkan bahwa majaz adalah memindahkan lafaz dari makna yang pertama ke makna yang kedua, karena sebuah hubungan dan indikator yang sesuai. Sebagaimana yang dikemukakan syekh Abdul ‘Aziz al-Rais.

 2.                  Macam-macam Majaz dan Aplikasinya

Menurut para ulama yang menetapkan majaz dalam al-Quran, al-sunnah dan bahasa arab bahwa terdapat beberapa macam majaz, yang terpenting dari semuanya   dibagi menjadi empat:

Pertama: majaz alifrod (metafora  tunggal)

Kedua : majaz altarkib (metafora berangkai)

Ketiga : majaz aqli (metafora yang sesuai dengan logika)

Keempat: majaz al-naqsh wa al-ziyadah(metafora yang bersifat kurang dan lebih).

Majaz al-ifrod adalah kata yang digunakan bukan pada makna sesungguhnya, karena sebuah hubungan dan indikator yang memalingkan dari makna aslinya, seperti penggunaan lafaz al-asad(singa) untuk seorang pemberani.

Majaz al-tarkib ialah penggunaan kaliamat sempurna untuk makna kalimat yang lain karena sebuah hubungan antara keduanya tanpa melihat pada kata-kata tunggalnya. Hal ini dapat ditemukan pada semua perumpamaan-perumpamaan orang Arab.

Al-majaz al-‘aqli ialah metafora yang khusus pada penisbatan, bukan pada lafaz yang dinisbatkan dan yang menisbatkan. Misalnya, ” أنبت الربيع البقل“( musim semi menumbuhkan tanaman), al-rabi’(musim semi) dan inbat al-baql(menumbuhkan tanaman) keduannya digunakan pada maknanya yang hakiki, yang menjadi metafora adalah pada penisbatan al-inbaat (menumbuhkan) kepada alrabii’ (musim semi) padahal ia(penumbuhan)hanyalah milik Allah semata.

Majaz al-naqsh wa al-ziyadah adalah berotasi pada keberadaan penambahan dan pengurangan yang keduanya merubah al-I’rob (fungsi kata dalam kalimat). Contoh yang biasa digunakan dalam majaz al-naqs(metafora pengurangan)seperti firman Allah: ” واسأل القرية  ” (dan tanyakan pada desa itu) maksudnya ” أهل القرية ” (pada penduduk desa itu). Sementara contoh yang biasa digunakan dalam majaz al-ziyadah(metafora tambahan) seperti firman Allah: ” ليس كمثله شيئ ” ( tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya), huruf “ك “disini adalah tambahan, karena maksudnya adalah “ليس مثله شيئ “(tidak ada satupu yang serupa dengan-Nya).

         Hal yang perlu diingat adalah bahwa pengelompokan macam-macam majaz ini adalah bagi ulama yang mendukung adanya majaz dalam ungkapan Arabiyah (bahasa arab) dan al-Qur’an. Adapun bagi ulama yang tidak mendukung adanya majaz tidak menganggap adanya pengelompokan tersebut. Namun sekilas tentang kesimpang-siuran dalam pembelaan majaz dan tidaknya telah menjadi suatu polemik dikalangan para ulama. Oleh sebab itu jika kita sedikit mengungkit sejarah munculnya penamaan dan pemilahan majaz ini akan lebih menarik untuk dijadikan pegangan dalam beragama. Mungkin dengan sebuah pertanyaan kita katakan, kapankah permulaan munculnya istilah majaz?

Para pembaca yang jujur di bidang sejarah tentang historis kemunculan majaz pasti akan menemukan bahwa orang-orang arab tidak diketahui dari mereka tentang pengelompokan ungkapan menjadi hakiki(denotatif) dan majaz(metafora). Tidak pula ditemukan dari mereka pengungkapan dengan lafaz majaz yang menjadi bagian dari hakiki menurut ulama ushul. Melainkan karena istilah ini dicetuskan setelah abad-abad terbaik umat ini.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: ” pengelompokkan ini adalah istilah baru yang dicetuskan setelah selesai tiga abad terbaik, tidak seorangpun dari shabat Nabi yang berbicara menginai hal ini, tidak pula para Tabi’iin dan para imam-imam yang terkenal dengan ilmunya, bahkan para ulama bahasa pun tidak berbicara masalah ini. serta para pendahulu kita dan alim-ulamanya tidak membicarakannya, berarti masalah ini hanyalah istilah baru. Karena pengelompokkan lafaz-lafaz menjadi hakiki dan majaz tersebar/terkenal pada tahun 400an (empat ratusan) dan permulaan munculnya pada tahun 300an(tiga ratusan), saya tidak pernah tahu keberadaannya pada tahun 200an(dua ratusan)”[4].

Komentar yang senada dengannya juga dikemukakan oleh imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, beliau berkata: ” dan ia adalah istilah yang dicetuskan setelah tiga kurun yang terbaik, hal ini berdasarkan nash[5].

 3.      Hukum Majaz

Berbicara tentang hukum majaz dan keberadaannya dalam al-Qur’an, al-Hadits maupun kalam arabi adalah hal yang menurut kami sangat serius, karena permasalahan ini sejak abad ke-4 hijriyah hingga abad kita sekarang masih menjadi polemik serius. Perbedaan pendapat ini berkisar antara pembolehan, penentang dan perincian. Setelah mengadakan penelitian dalam masalah ini kami menemukan bahwa pendapat para ulama menitik beratkan pada lima aliran berikut[6]:

Pertama          : hukum majaz boleh dan keberadaannya bersifat absolut. Aliran ini mewakili pendapat mayoritas ulama[7].

Kedua             : mutlak tidak ada majaz. Aliran ini  mewakili sebagian ulama muhaqiqin seperti Abu Ishaq al-Isfrayaini dari madzhab Syafi’yah dan Abu Ali al-Faarisi dari ulama lughah.

Ketiga             : majaz tidak ada dalam al-Qur’an saja, aliran ini diwakili oleh sebagian ulama seperti Daud Bin ‘Ali, Ibnu al-Qaash dari madzhab Syafi’iyah, Ibnu Khuweiz Mindad dari madzhab Malikiyah, dan dari madzhab Hanbali diwakili oleh Abu al-Fadhl al-Tamimi Bin Abi al-Hasan, Abu Abdillah Bin Haamid dan selainnya[8].

Keempat          : majaz tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits saja, aliran ini mewakili pendapat imam Ibnu Daud dari madzhab Zhahiriyah[9].

Kelima             : perincian antara lafaz yang terdapat hukum syariat dengan bukan hukum syariat, jika terdapat hukum syariat maka tidak akan ada majaz dan jika tidak terdapat hukum syariat maka majaz dibolehkan keberadaannya secara mutlak[10]. Aliaran ini mewakili pendapat imam Ibnu Hazm al-Zhahiri.

4.      Landasan Argumen Setiap Aliran

Pertama          : dalil para pemegang pendapat yang pertama

Mereka berdalil dengan beberapa dalil berikut ini:

a.                    Sesungguhnya isim(kata benda) dalam bahasa arab terbagi menjadi dua, denotatif dan metafora. Pembagian ini telah diakui oleh para ulama bahasa Arab, penggunaannya tersebar dikalangan orang-orang Arab, sementara al-Qur’an adalah asal dari bahasa dan yang menopangnya, maka tidak mungkin jika bahasa didatangkan berbeda dengan apa yang disebutkan oleh para ahli lisan arab(ahli bahasa arab).

b.                  Sesungguhnya aplikasi-aplikasi tentang keberadaan majaz dalam al-Qur’an dan selainnya sangat banyak, jumlah yang banyak ini lebih terkenal dibanding pengingkaran. Misalnya firman Allah:  وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ}(45) ، {جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ} ، {أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ}(47). Dan yang semisal dengannya.

Sisi pendalilan ayat-ayat ini terlihat dari penggunaannya bahwa ayat-ayat ini digunakan bukan pada maknanya yang asli seperti ketika pertama kali digunakan. Karena kata” جناح الذلّ  ” bentuk denotatif dari sebagian tubuh seekor burung, sedangkan hal-hal yang abstrak dan benda mati tidak divisualkan dengannya, maka menetapkan lafaz junah sebagai kerendahan jiwa adalah benar-benar majaz.

Adapun pertanyaan kepada penduduk desa padahal tidak mungkin bertanya kepadanya. maka hal ini adalah majaz. Sama halnya tembok tidak mungkin memiliki kehendak, karena kehendak adalah untuk sebuah yang denotatif, termasuk kekhususan manusia atau hewan. Oleh sebab itu hal ini adalah kinayah tentang  keruntuhan yang begitu dekat, karena orang yang menginginkan sesuatu pasti akan mendekatinya, maka pendekatan tersebut adalah bagian dari keharusan sebuah kehendak[11].

 Kedua : dalil pemegang pendapat kedua yang mengatakan tidak ada majaz.

            Saya akan berupaya menyebutkan dalil pemegang pendpat ini, baik dari sisi bahasa, al-Qur’an maupun dari al-Sunnah. Serta kami berupaya menyebutkan komentar dan sanggahan mereka terhadap kubu yang berbeda dengan mereka. Berikut keterangannya:

a.                   Sesungguhnya pembagian lafaz menjadi haqiqah(denotatif) dan majaz(metafora) belum pernah ada kecuali pada ulama muta’akhirin(yang datang belakangan), ia adalah istilah baru yang muncul setelah tiga abad masa terbaik sirna, tidak ada satupun dari seorng sahabat atau tabi’in yang berbicara masalah ini, tidak pula salah seorang dari imam madzhab yang empat dan selain mereka yang menyinggung masalah ini. bahkan pemimpin ulama pakar bahasa dan ilmu nahwu tidak membahas masalah ini.

b.                  Sesungguhnya ulama zaman dahulu yang berkarya tulis dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, usul fikih, tafsir dan hadits belum pernah ditemukan dalam tulisan mereka pembagian semacam ini. imam Syafi’I misalnya, orang yang pertama kali menulis ilmu ushul fiqh namun tidak berbicara tentang pembagian lafaz menjadi denotatif  dan metafora.

c.                   Sesungguhnya jika ditemukan ulama salaf  yang mengabsolutkan kata majaz mereka tidak bermaksud sebagai lawan dari kata haqiqah, seperti Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutzanna[12] yang pertama kali dikethui menggunakan lafaz majaz dalam bukunya ” majaz al-Qur’an“, namun dengan lafaz majaz itu beliau tidak bermaksud sebagai lawan dari haqiqah, tapi yang beliau maksudkan dari majaz al-ayah adalah sesuatu yang dengannya ia memngungkapkan makna sebuah ayat. Imam Ahmad bin Hanbal dalam bukunya ” al-Radd ‘Ala al-Jahmiyyah” tentang firman Allah ” إنا “(sesungguhnya Kami) dan ” نحن “(Kami) serta yang senada dengannya dalam al-Qur’an, (beliau berkata) : hal ini ” من مجاز اللغة “(termasuk majaz dalam bahasa), sungguh yang beliau maksud adalah sesungguhnya hal ini ” مما يجوز استعماله في اللغة “(termasuk perkara yang dibolehkan penggunaannya dalam bahasa) dan beliau tidak bermaksud bahwa ia(majaz) yang digunakan bukan pada maksudnya yang asli[13].

d.                  Orang-orang yang mengatakan haiqah dan majaz diminta untuk mendatangkan bukti karena lafaz-lafaz bahasa arab pertama ditemukan memiliki banyak makna, kemudian stelah itu digunakan untuk makna-makna tersebut, terus mengandung makna majaz dari makna yang pertama kali dimaksud, namun mereka sama sekali tidak sanggup melakukan hal itu, sebab tidak memungkinkan seseorang akan menukil dari orang-orang Arab bahwa sekumpulan telah bersepakat membuat semua nama-nama yang ada dalam bahasa, lalu setelah membuat mereka menggunakannya. Sesungguhnya yang diketahui dan dinukil secara mutawatir bahwa penggunaan orang Arab untuk lafaz-lafaz seperti ini adalah pada maksud yang mereka inginkan. Maka dari itu setiap dugaan yang menyelisihi hal itu adalah tidak benar karena belum ditemukan penukilannya sampai kepada kami[14].

e.                   Sesungguhnya pada pembagian itu sendiri tidaklah benar, karena beberapa alasan berikut:

1.                  praduga bahwa majaz melazimkan (ada) maksud (awal)sebelum penggunaannya, hal ini tidak pernah diketahui.

2.                  Pembagian ini melazimkan pengguguran berbagai lafaz dari dilalatuha (buktinya) terhadap makna-maknanya, hal ini sangat tidak mungkin karena dalil (bukti) mengharuskan madlulihi (hal yang dibuktikannya) bukan kebalikannya.

3.                  Pembagian ini tidak menunjukan adanya majaz, bahkan tidak mungkin. Serta tidak menunjukan keberadaan setiap satu dari pembagian-pembagian di daerah luar dan tidak ada kemungkinan. Karena pembagian ini mengandung pembatasan yang dibagi pada bagian-bagian itu, sementara ia lebih umum dan unifersal dari keberadaannya atau kemungkinan tidak ada atau hal terlarangnya.

4.                  Pembagian ini mengandung pemisahan antara dua hal yang serupa, karena suatu lafaz terkadang memberikan makna ini dan kadang bermakna itu, maka persangkaan mereka bahwa suatu lafaz bermaksud untuk yang satunya tidak untuk yang lainnya adalah justifikasi asal-asalan.

5.                  Bahwa melazimkan arus balik, karena mengetahui keadaan suatu lafaz majaz berhenti pada pengenalan maksud yang kedua dan hanya dimanfaatkan darinya, maka jika dimanfaatkan mengenal maksud dari keadaannya sebagai majaz melazimkan giliran itu terhenti. Maka dari mana dikethui bahwa ini maksud yang kedua? Dan juga dari mana diketahui bahwa maksud lafaz untuk salah satu dari dua makna adalah yang pertama dari maksud yang kedua.

6.                  Pembagian ini mengandung penetapan dan penafian sesuatu, karena menentukan lafaz untuk suatu makna berarti megkhususkan dengannya, dimana jika digunakan maka hanya dipahami makna itu saja, yaitu dipahami makna majaz dan menafikan makna yang pertama yang ditentukan, (berarti mereka) telah menggabungkan dua hal yang saling tabrakan , yaitu mengandung keberadaan suatu lafaz ditentukan tapi tidak ditentukan.

7.                  Majaz adalah hal yang bisa dikatakan kepada yang mengatakannya, padanya terdapat pembohongan, karena ia mengabarkan sesuatu yang berbeda dari hakikatnya. Maka boleh dikatakan kepada oranng yang mengatakan” saya melihat singa memanah” kamu pendusta, dimana ia tidak melihat singa, namun ia melihat seorang pemberani. Tentu hal ini tampak jelas sisi kelemahan pembagian lafaz menjadi haqiqah dan majaz.

8.                  Pembagian ini tidak terarah dengan kaidah yang shahih, oleh sebab itu secara umum sebagian mereka tidak menamainya majaz, sebagian mereka menamainya haqiqah, namun setiap mereka mengaku bahwa suatu lafaz digunakan pada maksudnya. Ini menunjukan kebatilan pembagian ini dan tidak ada kebenarannya.

Jika pembagian ini telah gugur, gugur pula pembagian dari pembagian, dimana mereka membagi setiap bagian menjadi beberapa bagian. Tentu hal ini diiris oleh dalil yang shahih dan nukilan yang benar[15].         

f.                   Sesungguhnya pengertian-pengertian yang dengannya mereka definisikan haqiqah dan majaz, masing-masingnya tidak lepas dari kritikan, hal itu karena mereka katakan bahwa haqiqah adalah ” lafaz yang digunakan pada maksudnya” sedangkan majaz adalah “lafaz yang digunakan bukan pada maksudnya”, ini membutuhkan penetapan maksud yang pertama dalam penggunaannya, sementara hal ini terhalang.

Di antara mereka ada yang menyambung definisi ini dengan ” dengannya terjadi perbincangan”, maka dikatakan kepada mereka dari mana diketahui bahwa lafaz-lafaz ini orang-orang Arab berbincang dengannya ketika masa turunnya al-Qur’an dan sebelumnya belum digunakan sebelum itu pada makna sesuatu? Apabila tidak diketahui penafian ini, tidak mungkin diketahui ia sebagai haqiqah, dan melazimkan darinya bahwa tidak boleh dipastikan ia adalah haqiqah dari lafaz-lafaz. Tapi tidak ada yang mengatakan akan hal ini[16].

g.                  Perbedaan-perbedaan yang dengannya denotatif dan metafora dibedakan adalah tidak benar, misalnya; majaz dapat dinafikan sedangkan haqiqah tidak demikian, majaz hal lain dapat terlintas di pikiran sedangkan haqiqah hal lain tidak dapat terlintas di pikiran, serta haqiqah memberikan pengertian yang murni tanpa indikator sedangkan majaz tidak akan memberikan makna melainkan dengan indikator[17].

Perbedaan-perbedaan tersebut menghadapi kritikan yang begitu panjang, keharusan-keharusan yang kurang matang. Jika demikian kira-kira apa yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur adanya indikator dan hubungan(dalam majaz) yang telah disebutkan? Semua itu sama sekali tidak dilandasi dalil yang kuat dan patokan yang jelas, hal ini menunjukan ketidak validan perbedaan-perbedaan tersebut dan kebobrokan yang lazim menunjukan kebobrokan yang dilazimkan[18].

h.                  Pembagian ini banyak digunakan oleh kelompok-kelompok sesat yang senantiasa menyelisihi ahli sunnah, mereka menjadikannya sandaran untuk men-ta’wil teks-teks al-Qur’an dan menolak hadits-hadits shahih, Yang tidak ditemukan penukilannya dari ulama salaf[19].

i.                    Perkara(pembagian) ini melazimkan kelaziman-kelaziman yang tidak benar dan mengaruskan perkara-perkara yang nyeleneh. Setiap yang melazimkan hal itu maka ia sama dengannya. Tidaklah ayat-ayat yang di-ta’wil dan hadits-hadits ditolak melainkan karena anggapan majaz, tidak pula sifat-sifat Allah ditolak dan diselewengkan melainkan karena dalih majaz. Maka memutus dan menutup pintu semisal ini lebih aman, nyaman dan selamat untuk syari’at dan keyakinan yang agung ini.

Di antara kelaziman yang paling buruk terhadap pemetakan denotatif dan metafora bahwa denotatif tidak dapat dinafikan sedangkan metafora dapat dinafikan, tentu hal ini merupakan kesalahan fatal. Karena denagn kesalahan ini orang-orang yang menolak sifat-sifat Allah menjadikan jembatan untuk menolak sifat-sifat sempurna yang telah tetap untuk Allah karena dalih majaz yang konyol. Contohnya, kata ” استوى “(bersemayam) bermakna ” استولى “(menguasai), ” اليد “(sifat tangan) di-ta’wil-kan dengan ” القدرة و النعمة “(kekuasaan dan ni’mat) serta sifat ” المجيئ “(sifat datang) di-ta’wil-kan dengan ” مجيئ الأمر “(kedatangan perkara). dan selanjutnya maka kiyaskanlah[20].

 

Ketiga : Dalil-dalil para pemegang pendapat bahwa majaz tidak terdapat dalam al-Qur’an serta sanggahan mereka terhadap kubu yang menyelisihi mereka:

a.                   Lanjutan dari yang sebelumnya, jika seandainya kita tetapkan metafora ada dalam al-Qur’an maka kita juga boleh mengatakan bahwa lafaz ” الله ” adalah metafora dan pinjaman(musta’iir). Tentu ini tidaklah benar karena nama-nama Allah sifatnya tauqifiyah(tertulis dengan dalil).

b.                  Sebagaimana anggapan mereka bahwa di dalam al-Qur’an contoh permisalan-permisalan yang telah diketahui, hal ini tidaklah benar. Karena ayat-ayat dan permisalan-permisalan yang mereka sebutkan sama sekali tidak ada metafora padanya, ia hanyalah usluub (stalistic) yang digunakan oleh orang Arab dan makna-maknanya denotatif yang terbawa dari bahasa. Contohnya, firman Allah ” وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ “(tanyakan pada desa itu) di dalamnya dihapus mudhaaf(yang bersandar), mudhaaf dihapus dan menempatkan mudhaaf ilaihi(yang disandarkan padanya) pada posisi mudhaaf adalah merupakan stalistic bahasa arab yang telah diketahui bersama[21]. Sebab hal ini termasuk perkara yang telah diketahui, dan jika setiap hal yang telah diketahui dihapus maka boleh, sebagaimana yang telah disepakati oleh ulama ahli bahasa.

Kemudian, orang-orang Arab menggunakan lafaz ” القرية ” dan yang serupa dengannya termasuk lafaz-lafaz yang padanya terdapat penduduk dan tempat keduannya tergolong dalam penamaan tersebut, seperti ” المدينة “(kota) dan ”  النهر “(sungai), ” الميزاب ” (hulu) dan semisalnya. Lafaz-lafaz semacam ini terkadang digunakan untuk tempat dan terkadang untuk penduduk. Hal ini adalah stalistic arab yang telah masyhur digunakan.

Sehingga mereka mengatakan: ” حفر النهر ” mereka maksudkan adalah tempat, ” جرى النهر ” mereka maksudkan adalah air, ” وضعت والميزاب ” mereka maksudkan adalah tempat dan ” وجرى والميزاب ” mereka maksudkan adalah air serta masih banyak lagi contoh yang lain[22].

Kemudian contoh ” وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ “(tanyakan pada desa itu) juga ditemukan penggunaan orang Arab bahwa terkadang untuk tempat dan terkadang untuk penduduk. Kedua-duanya telah ada penggunaannya dalam al-Qur’an, seperti pada firman Allah: ” وَكَمْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءَهَا بَأْسُنَا بَيَاتًا أَوْ هُمْ قَائِلُونَ “, dalam ayat yang lain: ” وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ أَهْلَكْنَاهُمْ ” dan juga dalam ayat lain: ” وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا ” seluruh ayat ini pada lafazالقرية ” bermaksud penduduk.

Sementara itu lafaz ” القرية ” juga terkadang digunakan untuk maksud tempat, seperti pada firman Allah ” أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ “.

            Walhasil, orang-orang Arab menggunakan lafaz ini namun terkadang mereka bermaksud tempat dan terkadang bermaksud penduduk, hanya saja jalur cerita yang menentukan hal itu, jadi lafaz ini bukanlah metafora, tapi ia adalah bagian dari berbagai stalistic bahasa arab yang telah diketahui bersama[23].  

c.                   Firman Allah: ” وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ ” hal ini tidak dimaksudkan bahwa ” الذل “(kehinaan/kerendahan) memiliki sayap, namun yang dimaksud dari ayat tersebut-sebagaimana konteks penafsiran para ahli tafsir- adalah termasuk dari ” إضافة الموصوف إلى صفته “(mengafiliasikan yang disifati kepada sifatnya), sehingga maknanya menjadi ” واخفض لهما جناحك الذليل لهما من الرحمة ” (dan rendahkanlah kepada keduanya sayapmu yang rendah karena kasih-sayang). Dalam konteks semacam ini banyak ditemukan dalam ucapan orang-orang Arab, misalnya; ” حاتم الجود ” yang tersifati dengan kedermawanan.

Sehingga mendiskripsikan ” الجناح ” dengan ” الذل “, padahal ia(junaah) adalah sifat bagi manusia, karena kesombongan tampak dengan mengangkat sayap sedangkan tawadu dan kelembutan tampak dengan merendahkannya, maka merendahkannya adalah sebutan tentang kelembutan perangai. Menisbatkan sifat manusia untuk sebagian anggota tubuhnya merupakan stalistic orang-orang Arab dalam bahasa arab.

d.                  Hal yang sama seperti pada firman Allah: ” نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ “, maksudnya adalah ” صاحب الناصية ” (pemilik ubun-ubun)[24].

e.                   Adapun firman Allah: ” جدارا يريد أن ينقض “(tembok yang hendak roboh) sama sekali tidak ada metafora padanya karena ada dua alasan:

1.                  Yang dimaksud dengan kehendak disini adalah makna denotatif, karena benda-benda mati juga memiliki kehendak yang hakiki, kita tidak mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala, sebagaimana yang dibuktikan dalam sebuah riwayat bahwa batu memberi salam kepada Nabi Muhammad[25] dan rundukan pelepah kurma ketika Beliau berkhutbah di atasnya saat membelakanginya menuju minbar[26]. Semua ini timbul dari kehendak yang denotatif yang hanya diketahui oleh Allahwalaupun kita tidak mengetahuinya. Hal ini sebagaimana termuat dalam firman Allah: ” وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ” dan contoh-contoh yang serupa dengannya sangat banyak dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

2.                  الإرادة ” sendiri digunakan untuk beberapa makna, di antaranya: makna secara bahasa yang telah kita ketahui yaitu kehendak, kemudian “mendekati sesuatu dan condong kepadanya, dengan demikian makna  “kehendak tembok” adalah condong ke arah jatuh dan kedekatannya padanya. Hal ini adalah stalistic bahasa arab. Dengan demikian lenyaplah sudah anggapan adanya metafora dalam ayat[27].  

f.                   Adapun pada firman Allah: ” أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ ” juga tidak ada metafora padanya, bahkan ia adalah aplikasi dari memutlakkan nama tempat di atas nama penduduk dan sebaliknya, ini juga termasuk stalistic bahasa arab yang telah masyhur. Kedua-duanya(makna tempat dan penduduk) adalah denotatif sesusai pada tempatnya masing-masing, sebagaimana pada aplikasi lafaz alqoryah dan alnahr.

Walhasil, jawaban-jawaban terhadap aplikasi-aplikasi yang ditawarkan sebagai metafora, kita katakan bahwa yang demikian itu adalah stalistic bahasa arab secara denotatif.

Poin yang penting untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa ulama salaf sebagaimana penjelasan sebelumnya, tidak mengenal metafora dengan makna terminologi masa kini, oleh sebab itu tidak boleh disanggah tentang ketidak adaan pengingkaran mereka terhadap majaz.

Setelah tiga abad terbaik itu sirna, muncullah pembagian ini yang telah diingkari oleh sejumlah para ulama serta mengingkari adanya majaz secara mutlak, seperti al-Ustadz Abu Ishaaq al-Isfrayaini(beliau dari kalangan pembesar ulama Syafi’yah) dan Abu Ali al-Faarisi( beliau adalah pembesar ulama bahasa). Adapun ulama yang berpendapat bahwa dalam al-Qur’an saja tidak terdapat majaz seperti madzhab Zhahiriyah, sebagai ketuanya Daud bin Ali dan Abu Abdillah bin Hamid dari madzhab Hanabilah dan selain mereka[28].

berdasarkan perkara sebelumnya baik dalil-dalil dan sanggahan bahwa majaz dalam al-Qur’an tidak ada maka begitu halnya al-Sunnah, artinya majaz juga tidak ada dalam al-Sunnah, karena sunnah juga merupakan wahyu dari Allah Ta’ala.

 

Keempat         : sanggahan mayoritas ulama terhadap dalil para penolak majaz.

Mayoritas ulama telah menyanggah dan menjawab dalil-dalil para penolak majaz, sebagaimana berikut:

a.                   Perkataan bahwa orang Arab belum membagi kalam(perkataan) menjadi metafora dan denotatif. Jika yang kalian inginkan bahwa mereka(orang arab) tidak menentukan istilah maka hal ini boleh diakui. Namun  jika yang diinginkan bahwa tidak ditemukan dalam ucapan mereka majaz maka ini tidak akan diakui. Sebagaimana aplikasi-aplikasi yang kami sebutkan.

b.                  Adapun apa yang kalian katakan bahwa istilah ini hal yang baru, belum dikenal sebelumnya kecuali setelah abad-abad terbaik, adalah tidak benar, bahkan sejumlah imam telah berbicara masalah ini, misalnya Ma’mar bin al-Mutsanna, menunjukan bahwa hal ini telah digunakan sejak lama dan terkadang mereka memutlakkan dengan lafz yang lebih luas.

c.                   Sedangkan apa yang kalian katakan bahwa majaz mengosongkan(terjadi kesimpang siuran)kepahaman, maka kami telah mensyaratkan untuk mengesahkan majaz adanya indikator yang dapat menghilangkan kekosongan kepahaman dan yang menjelaskan maksud orang yang mengucapkannya.

d.                  Kalian katakan, bahwa majaz adalah kedustaan, boleh dinafikan maka hal ini tidak diterima, karena sekalipun boleh dinafikan bukan berarti kedustaan, sebab yang dinafikan adalah maksud makna yang hakiki bukan makna majaz, dengan adanya indikator yang menjelaskan maksud tersebut.

e.                   Kemudian anggapan bahwa majaz melazimkan kita mensifatkan Allah bahwa Dia adalah metafora yang dipinjam, maka hal ini tidak diterima, karena sifat-sifat Allah bersifat tauqifiyah(dibatasi dengan dalil).

Itulah beberapa jawaban yang dikemukakan oleh ulama mayoritas yang ditujukan kepada mereka yang mengingkari majaz[29].   

 

Kelima            : perincian antara lafaz yang terdapat hukum syariat dengan bukan hukum syariat, jika terdapat hukum syariat maka tidak akan ada majaz karena hukum-hukum syariat mengharusakn kelaziman-kelaziman yang tidak benar, sebab hukum-hukum syariat dibangun di atas al-Qur’an dan al-Hadits dengan lisan dan bahasa orang Arab. Contohnya, sumpah, nadzar, mu’amalat, pernikahan, perceraian dan yang serupa dengannya tidak ada majaz padanya. Adapun jika tidak terdapat hukum syariat maka majaz dibolehkan[30].

Saya melihat sulitnya mengunggulkan poin ini, walaupun saya cenderung memilih jalur perincian berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sejalan dengan syariat, rincian yang paling terpenting adalah pada poin berikut:

1.      Bukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah

2.      Bukan dalam lingkup akidah, apalagi maslah sifat-sifat Allah.

3.      Bukan sebagai jalur untuk men-ta’wil teks-teks al-Qur,an maupun Hadits atau menolaknya serta mengeluarkan dari hukum-hukum syariat.

 

Saya katakan: berdasarkan sajian yang serius di atas saya menimbang dan mengukur keabsahan masing-masing pendapat-bukan karena fanatik atau membabi buta- bahwa pendapat yang saya anggap rajih(unggul) atau saya lebih cenderung-walaupun saya juga condong memilih pendapat yang mengatakan tidakada majaz -memilih pendapat perincian, karena sisi keunggulannya serta dalil-dalil dan jawabannya yang begitu kuat ditambah kelemahan dalil-dalil dan jawaban pihak yang membolehkan majaz secara mutlak. Disamping itu juga, melazimkan pihak yang mengatakan adanya majaz secara mutlak kelaziman-kelaziman yang tidak benar, seperti menolak sifat-sifat Allah karena dalih majaz serta memalingkan teks-teks ayat atau hadits dengan alasan majaz. Juga karena tidak adanya ketentuan-ketentuan yang sehat yang dapat diketehui ketika pembagian tersebut. Inilah yang melemahkan pendapat ini dan keharusan-keharusan yang mereka bedakan dalam majaz, salah satunya berupa bolehnya menafikan sebagian kata-kata dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, karena majaz boleh dinafikan. Tentu ini adalah hal yang sangat fatal.

Itulah alasannya sebgaimana yang telah dikupas pada dalil-dalil ulama yang mengatakan tidak ada majaz serta sanggahan-sanggahan mereka kepada pihak yang membolehkan majaz, sebagai jawabannya bahwa itu adalah stalistic dalam bahasa arab yang telah diketahui dan dijalani di atasnya.

 

c.       Kesimpulan

Setelah penelusuran yang panjang bersama majaz dan haqiqah antara boleh atau tidak ini, saya menyimpulkan setelah menilai dalil masising-masing pihak bahwa:

a.       Pembahasan ini sangat serius dan penting dalam agama kita Islam.

b.      Ada lafaz-lafaz yang memiliki multi pembagian, diantaranya-menurut perkataan ulama mutakhirin-pembagian lafaz menjadi majaz dan haqiqah.

c.       Pembagian ini adalah poros perselisihan dikalangan ulama, karena ulama terdahulu tidak mengatakan demikian.

d.      Pembagian ini muncul belakangan ini, makanya terjadi perselisihan.

e.       Akhir dari aliran-aliran tentang masalah ini menjadi lima aliran: boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak dan secara rinci juga mengalami perbedaan.

f.       Setiap aliran memiliki dalil serta sanggahan-sanggahannya.

g.      Pendapat  yang unggul menurut kami adalah pendapat yang mengatakan perincian yang disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang sejalan dengan syariat.

h.      Yang berkaitan dengan akidah, sifat Allah khususnya, firman-firman-Nya serta sabda-sabda Nabi, serta seluruh yang berkaitan dengan hukum syariat, maka mengatakan tidak ada majaz adalah merupakan keharusan karena jika mengatakan ada majaz padanya melazimkan kelaziman-kelaziman yang keliru.

i.        Adapun yang tidak berkaitan dengan hal-hal itu, bahkan sekedar lafaz, stalistic dan istilah-istilah saja maka dalam hal ini boleh-boleh saja, karena rung lingkup bahasa sangat luas, maka tidak ada yang dapat diperdebatkan.

j.        Perselisihan ini memiliki buah yang hakiki, dalam hal akidah, al-Qur’an dan hukum-hukum, adapun pada selainnya maka hal itu tidak perlu diperdebatkan.

k.      Pada al-Qur’an tidak ada pendekatan majaz dalam studi al-Quran.   

 

Wallahu Ta’ala A’lam Bisshawab.

 

 

 Daftar Pustaka

‘Abdurrahman al-Sudais, al-Majaz ‘Inda al-Ushuliyin Baina al-Mujiziin wa al-Mani’iin(ttk-ttp, ttt) hlm 19.

al-Fayumi, almishbah (Beirut-al-Maktabah al-Ilmiyah,ttt)

Fairuz Abadi, alqamus almuhith(Qohirah-alHalabi,ttt)

Muslim al-Tsubuut, Fawaatih al-Rahmuut Syarh Muslim al-Tsubuut(Beirut-Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,ttt)

Abu al-Husen al-Bashri al-Mu’tazili, alMu’tamad (Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H) Cet pertama.

 al-Qurafi, Syarh Tanqiih al-Fushul(Beirut-Qohirah- Dar al-Fikr, ttt)

Ibnu al-Hajib, Muntaha al-Wushul wa al-Amal(Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1405 H)

Abu Hamid al-Ghazali, alMustashfa(Beirut-Libanon- Dar Ihya al-Turats al-‘arabi wa Maktabah al-Matsna, ttt)

al-Bunani, Hasyiyah al-Bunani ‘Ala Jam’I al-Jawami’(ttk- Dar al-Fikr, 1402 H)

al-Asnawi, al-Tamhid Fii Takhriij al-Furuu’ ‘Ala al-Ushul(Beirut- Muassasah al-Risalah, 1400 H)

Al-Aamidi, alIhkaam(Beirut-al-Maktab al-Islami,ttt)

Abu Ya’la, al-‘Uddah, komentar Ahmad Siir al-Mubaraki(Beirut-Muassasa al-Risalah,ttt)

Abu al-Katthaab, al-Tamhid (Ummu al-Qura- Markaz al-Bahts al-‘Ilmi, 1406H)cet 1

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhah al-Nazhir(ttk-ttp,ttt)

Ibnu Najjar, Syarh al-Kukab al-Muniir(Jami’ah Ummu al-Qura- Markaz al-Bahts al-‘Ilmi, 1402H)

Abu al-Husen al-Jurjani, al-Ta’rifaat(Beirut-Maktabah Lubnan, 1978M)

al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul(Beirut- Dar al-Ma’rifah, ttt)

Muhammad Syibli, Ushul al-Fiqh(Beirut-Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1402 H)

Ibnu Taimiyyah, majmu’al-fatawa(Dar al-Wafa’ 2005M)

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt)

alZarkasyi, al-Bahr al-Muhith(Kuwait-Wizarah al-Syuun al-Islamiyah,ttt)

Abu al-Husen al-Bashri al-Mu’tazili, alMu’tamad (Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H) Cet 1

Alu Taimiyah, al-Musawwadah(Beirut-Dar al-Kitab al-‘Arabi,ttt)

Ibnu Badran, Nuzhah al-Khathir al-‘athir Syarh Raudhah alNadzhir (Beirut, dar al-Kutub al-Ilmiyah,ttt)

Ibnu Hanbal, Ahmad, al-Radd ‘Ala al-Jahmiyyah(Rayadh-Riasah Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah, ttt)

Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah(Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt).

Amiin al-Syinqithi, Mudakkirah fii Ushul al-Fiqh(Madinah-al-Maktabah al-Salafiyah-ttt) hlm 59.

al-Munaawi, Faidh al-Qadir syarh al-Jami’I al-Shaghir (Beirut- Dar al-Ma’rifah, 1391H).

Ibnu Hajar, al-Talkhish al-Khabiir(…….) 2/62

Ibnu Hazm al-Zhahiri, al-Ihkaam Fii Ushul al-Ahkaam(Mesir- Maktabah ‘Athif, 1398H) 583.

Amiir Badsyaah, Taisiir al-Tahrir(Beirut-Maktabah al-Kutub al-‘Ilmiyah,ttt)

Abu Ishaq al-Syirazi, al-Tabshirah Fii Ushul al-Fiqh(Damaskus-Dar al-Fikr, 1400H)

Fakhruddin al-Raazi, al-Mahshuul Fii Ushul al-Fiqh, komentar Toha Jabir al-‘Alwani (Riyadh- Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1400).

‘Abdul’azhim al-Muth’ani, al-Majaz fii al-Lugah wa al-Qur’an al-Karim Baina al-Ijazah wa al-Man’i(Qohirah-Maktabah Wahbah,ttt).

Ibnu Hazm, al-Ihkaam Fii Ushul al-Ahkaam, komentar muhammad Ahmad ‘Abul’aziz(Beirut-Maktabah ‘Athif, 1398H)

 

 

 

 

 


[1]  Pembahasan pengertian sampai pendapat aliran kelima dalam makalah kami ini adalah kutiipan dari makalah syekh ‘Abdurrahman al-Sudais, al-Majaz ‘Inda al-Ushuliyin Baina al-Mujiziin wa al-Mani’iin(ttk-ttp, ttt) hlm 19.

[2]  Lihat: al-Fayumi, almishbah (Beirut-al-Maktabah al-Ilmiyah,ttt) 1/114 dan 3/870 dan Fairuz Abadi, alqamus almuhith(Qohirah-alHalabi,ttt) 2/170

[3]  Untuk pengertian-pengertian ini lihat: Muslim al-Tsubuut, Fawaatih al-Rahmuut Syarh Muslim al-Tsubuut(Beirut-Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,ttt) 1/203, Abu al-Husen al-Bashri al-Mu’tazili, alMu’tamad (Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H) Cet 1, 1/11, al-Qurafi, Syarh Tanqiih al-Fushul(Beirut-Qohirah- Dar al-Fikr, ttt) hlm 44, Ibnu al-Hajib, Muntaha al-Wushul wa al-Amal(Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1405 H) hlm 20, Abu Hamid al-Ghazali, alMustashfa(Beirut-Libanon- Dar Ihya al-Turats al-‘arabi wa Maktabah al-Matsna, ttt) 1/105 dan 341,  al-Bunani, Hasyiyah al-Bunani ‘Ala Jam’I al-Jawami’(ttk- Dar al-Fikr, 1402 H) 1/304-305, al-Asnawi, al-Tamhid Fii Takhriij al-Furuu’ ‘Ala al-Ushul(Beirut- Muassasah al-Risalah, 1400 H) hlm 178, Al-Aamidi, alIhkaam(Beirut-al-Maktab al-Islami,ttt) 1/28, Abu Ya’la, al-‘Uddah, komentar Ahmad Siir al-Mubaraki(Beirut-Muassasa al-Risalah,ttt) 1/172-174, Abu al-Katthaab, al-Tamhid (Ummu al-Qura- Markaz al-Bahts al-‘Ilmi, 1406H)cet 1, 1/77. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudhah al-Nazhir(ttk-ttp,ttt) hlm 64, Ibnu Najjar, Syarh al-Kukab al-Muniir(Jami’ah Ummu al-Qura- Markaz al-Bahts al-‘Ilmi, 1402H) 1/154-155, Abu al-Husen al-Jurjani, al-Ta’rifaat(Beirut-Maktabah Lubnan, 1978M) hlm 214, al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul(Beirut- Dar al-Ma’rifah, ttt) hlm 21 dan Muhammad Syibli, Ushul al-Fiqh(Beirut-Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1402 H) hlm 443.

[4]  Ibnu Taimiyyah, majmu’al-fatawa(Dar al-Wafa’ 2005M) 7/88-99 dan 12/277.

[5]  Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/5.

[6]  alZarkasyi, al-Bahr al-Muhith(Kuwait-Wizarah al-Syuun al-Islamiyah,ttt)2/185.

[7]  Abu al-Husen al-Bashri al-Mu’tazili, alMu’tamad (Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H) Cet 1,1/4,  Al-Aamidi, alIhkaam(Beirut-al-Maktab al-Islami,ttt) 1/47. Abu al-Katthaab, al-Tamhid 1/80. al-Syaukani, al-Musawwadah 564. Al-Syaukani, Syarh al-Kaukab 1/191. Al-Syaukani, Irsyaad al-Fuhul hal 22.

[8]  Misalnya : Abu al-Hasan al-Kharazi dar madzhab Hanbali, mundzir bin Sa’iid al-Buweiti, dan disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Man’u al-majaz fi al-Qur’an dan al-Fatawa 7/89.

[9]  alZarkasyi, al-Bahr al-Muhith (Kuwait-Wizarah al-Syuun al-Islamiyah,ttt) 3/185 dan Ibnu Hazm, al-Ihkaam 4/531.

[10]   alZarkasyi, al-Bahr al-Muhith(Kuwait-Wizarah al-Syuun al-Islamiyah,ttt) 3/185 dan Ibnu Hazm, al-Ihkaam 4/531-532.

[11]  Ibnu Badran, Nuzhah al-Khathir al-‘athir Syarh Raudhah alNadzhir (Beirut, dar al-Kutub al-Ilmiyah,ttt) juz 1 hal 182.

    Untuk dalil pendapat yang membolehkan lihat: Al-Aamidi, alIhkaam(Beirut-al-Maktab al-Islami,ttt) 1/47, Abu al-Khathab, al-Tamhid (Jami’ah Ummu al-Qura-Markaz al-Bahts al-‘Ilmi, 1406) cet 1, hlm 80, al-Syaukani, Irsyad al-Fuhuul(Beirut- Dar al-Ma’rifah, ttt) hlm 23.

[12]  Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna al-Taimi al-Bashri al-Nahwi, lahir pada tahun 110H, beliau termasuk gudang ilmu, banyak menghafal ilmu-ilmu, pemimpin para penulis dan banyak menulis, sehingga karyanya mencapai sekitar 200 buku. Beliau juga meninggalkan banyak hasil diskusi ketika berdiskusi dengan para ulama yang lain. Salah satu yang mengambil ilmu darinya Abu Ubaid al-qosim bin sallam. Beliau wafat pada tahun 210 H. semoga Allah merahmatinya.(lihat buku ” wafayaat al-a’yaan 5/235) dan buku ” syadzaraat al-dzahab” 2/24).

[13]  Beliau(imam Ahmad) juga telah menjelaskan maksudnya secara terang-terangan tentang penggunaan kata ini. 

     Ibnu Hanbal, Ahmad, al-Radd ‘Ala al-Jahmiyyah(Rayadh-Riasah Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah, ttt) hlm 26. Ibnu Abdilhaliim, Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt) 7/78 dan 20/403-404. Ibnu Abdilhaliim, Ahmad Ibnu Taimiyyah, alIman(ttk-ttp-ttt) hlm 83. Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah(Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/241-243. Ibnu Badraan, Syarh Raudhah al-Nazhir(Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah dan al-Maktab al-Islami,ttt) 1/183-184. Dan Amiin al-Syinqithi, Mudakkirah Fii Ushul al-Fiqh(58-62).

[14]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa (Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/90-91.  Ibnu Abdilhaliim, Ahmad Ibnu Taimiyyah, alIman(Beirut- al-Maktab al-Islami,ttt) hlm 86-87. Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Nursalah(ttk-ttp-ttt) 2/243-244. Dan Amiin al-Syinqithi, Mudakkirah Ushul al-Fiqh(ttk-ttp-ttt) hlm 62.

[15]     Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt) 7/96-106.  Ibnu Abdilhaliim, Ahmad Ibnu Taimiyyah, alIman(ttk-ttp-ttt) hlm 92-104. Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah(Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/243-287.

[16]    Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/96-97, Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah(Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/247-261

[17]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/96-115, Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah, ringkasan oleh Muhammad al-Musili (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/247-261. Abu al-Husen al-Bashri al-Mu’tazili, alMu’tamad (Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H) Cet 1, 1/25-27. Abu al-Khatthab, alTamhiid(Jami’ah Ummu al-Qura-Markaz al-Bahts al-‘Ilmi, 1406) cet 1, 1/86. Dan al-Syaukaani, Irsyaad alFuhuul (Beirut-Dar al-Ma’rifah, ttt) hlm 25.

[18]     Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt) 7/96-115, Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah(ttk-ttp-ttt) 2/247-261.

[19]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/88,118-119. Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah, ringkasan oleh Muhammad al-Musili (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 1/241.

[20]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/90. Idem, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah, ringkasan oleh Muhammad al-Musili (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/243-287.

[21]     Amiin al-Syinqithi, Mudakkirah fii Ushul al-Fiqh(Madinah-al-Maktabah al-Salafiyah-ttt) hlm 59.

[22]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/112-113 dan 20/263.

[23]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/112-113 dan 20/463. Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah, ringkasan oleh Muhammad al-Musili (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/302-303.

[24]     Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt) 20/465. Ibnu al-Qayyim, Mukhtashar al-Shawa’iq al-Mursalah, ringkasan oleh Muhammad al-Musili (Beirut-Dar al-Nadwah al-Jadidah-ttt) 2/252.

[25]    Beliau bersabda: ” إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم علي قبل أن أبعث “(HR Muslim, Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir bin Samuroh) lihat: al-Munaawi, Faidh al-Qadir syarh al-Jami’I al-Shaghir (Beirut- Dar al-Ma’rifah, 1391H)  3/19.

[26]    Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir beliau berkata:  “كان جذع يقوم إليه النبي فلما وضع له المنبر حن الجذع”  (Lihat: Shahih Bukhari 1/220 pada bab al-Jumu’ah dan Ibnu Hajar, al-Talkhish al-Khabiir, 2/62.)

Lihat: Shahih Bukhari 1/220 pada bab al-Jumu’ah dan Ibnu Hajar, al-Talkhish al-Khabiir, 2/62.

[27]   Ahmad Ibnu Taimiyyah, alFataawa(Riyadh-al-Riasah al-‘Aammah Li al-Buhuts al-‘Ilmiyah-ttt)7/108 dan Amin Syinqithi, Mudzakkirah Fii Ushul al-Fiqh(……) hlm 59.

[28]      Al-Aamidi, alIhkaam(Beirut-al-Maktab al-Islami,ttt) hlm 583. Ibnu Hazm al-Zhahiri, al-Ihkaam Fii Ushul al-Ahkaam(Mesir- Maktabah ‘Athif, 1398H) 583.

[29]      Abu al-Husen al-Bashri al-Mu’tazili, alMu’tamad (Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H) Cet 1, 1/31. Muslim al-Tsubuut, Fawaatih al-Rahmuut Syarh Muslim al-Tsubuut(Beirut-Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,ttt) 1/212. Amiir Badsyaah, Taisiir al-Tahrir(Beirut-Maktabah al-Kutub al-‘Ilmiyah,ttt) 2/22. Abu Ishaq al-Syirazi, al-Tabshirah Fii Ushul al-Fiqh(Damaskus-Dar al-Fikr, 1400H) 9/18. Fakhruddin al-Raazi, al-Mahshuul Fii Ushul al-Fiqh, komentar Toha Jabir al-‘Alwani (Riyadh- Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1400) 1/1/464. Al-Amidi, alIhkaam, komentar Abdurrazaq ‘Afifi (Beirut-al-maktam al-Islami, ttt) 1/50. Abu Ya’la, al-‘Uddah, komentar Ahmad Siir al-Mubaraki(Beirut-Muassasa al-Risalah,ttt) 2/700. Dan ‘Abdul’azhim al-Muth’ani, al-Majaz fii al-Lugah wa al-Qur’an al-Karim Baina al-Ijazah wa al-Man’i(Qohirah-Maktabah Wahbah,ttt) 2/648, 913 dan 1094.

[30]   Ibnu Hazm, al-Ihkaam Fii Ushul al-Ahkaam, komentar muhammad Ahmad ‘Abul’aziz(Beirut-Maktabah ‘Athif, 1398H) 4/531 dan setelahnya.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Oktober 31, 2012 inci AQIDAH, BAHASA ARAB

 

Tinggalkan komentar